Monday, March 20, 2017

[Eps 8] Feel The Nature at Imshil Philbong

DAY 8

Sabtu, 14 Mei 2016


         Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana situasi di kampus tidak begitu ramai seperti biasa. Sama seperti di Indonesia, Sabtu Minggu adalah weekend bagi para pekerja yang telah bekerja keras dalam seminggu. Hari ini jadwal kami adalah berangkat ke kota Imsil untuk belajar musik tradisional Korea dan juga belajar membuat warna kain dengan bahan alami. Aku bangun di pagi hari untuk membersihkan diri dan membereskan kamar yang sangat berantakan. Pada hari Sabtu dan Minggu, Cafetaria tempat kami sarapan pun libur sehingga kami mendapatkan kiriman sarapan untuk pagi ini. Menu sarapan pagi ini adalah sandwich dan pepsi. Aku segera menyantap sarapan yang rasanya sangat enak dengan banyak daging dan sayuran didalamnya yang sangat mengenyangkan untuk porsi sarapan di pagi ini. Karena aku tidak terbiasa meminum minuman bersoda di pagi hari, aku hanya minum air putih setelah sarapan dan minum vitamin agar kondisi badan tetap bugar. Setelah bersiap, aku dan teman-teman berangkat ke parkiran pada pukul 9.00 untuk memulai perjalanan ke kota Imsil yang menurut Eun Je jaraknya sekitar satu jam lebih dari Jeonju. 
          Namun sebelum memulai perjalanan yang lumayan lama kami diajak ke sebuah restoran terlebih dahulu. Yap, kami diajak ke restauran Tteokbokki  makanan yang sangat terkenal di Korea yang terbuat dari beras dan rasanya yang kenyal dan pedas. Kami berjalan terlebih dahulu untuk menuju ke restaurant tersebut, akhirnya kami sampai dan aku segera duduk bersama dengan teman-teman yang lain. Tteokbokki dengan porsi besar sudah tersedia di meja dengan menu lainnya seperti Danmuji (acar lobak berwarna kuning), kimchi dan banyak lagi. Setelah semua berkumpul, Eunje memberikan sedikit pidato kepada kami tentang makanan yang akan kami santap ini. Setelah itu, para pelayan menyalakan kompor dan memberikan panduan kepada kami dan tinggal menunggu beberapa menit untuk mulai menyantapnya. Oh iya pemandu kami di hari ini adalah Eunje dan Kim Eun, Kim Eun baru pertama kali bertemu dengan kami hari ini menggantikan Song Yi yang ada ujian di kampus. Kim Eun seumuran denganku, ia lahir tahun 1996 dan sejak kecil tinggal di Amerika dengan ayahnya yang bekerja di sana. Tidak salah lagi karena bahasa Inggrisnya benar-benar sangat lancar.    
         Kemudian sambil kami menunggu Tteokbokki matang,tidak lupa untuk berfoto terlebih dahulu. Sebelumnya aku akan menjelaskan Tteokbokki yang aku santap ini, ini sangat berbeda dengan Tteokbokki lain yang pernah aku cicipi, topingnnya sangat banyak diantaranya terdapat potongan odeng dengan rasa ikan yang khas, beberapa butir telur yang menggoda, dan ada satu jenis berbentuk bulat rasanya seperti ekado namun aku lupa nama makanan tersebut, dan juga yang spesial adalah ditaburi dengan Mozzarella yang melekat pada setiap celah di wajan besar tersebut. Tidak lupa juga terdapat beberapa nori atau rumput laut yang menjadi makanan wajib di Korea. Aku sudah tidak sabar ingin menyantapnya, segera ku ambil kedua sumpit yang sedari tadi menunggu. Aku langsung menyantap makanan tersebut, dan whoaah rasanya benar-benar mantap! Aku sampai berhenti berbicara dan langsung terdiam merasakan betapa lezatnya Tteokbokki Mozzarella ini. Aku terus menyantap setiap makanan yang berada dimeja, aku mencoba memakan danmuji yang sering aku lihat di drama Korea yang biasanya dimakan dengan jajangmyeon. Yapp rasanya sangat segar, di Indonesia ini seperti acar, aku terus menyantapnya hingga tidak tersisa di mangkuk putih itu.
Tteokbokki Mozzarella
Tteokbokki Mozzarella with many topping
        Setelah  selesai menyantap Tteokbokki, kami segera melanjutkan perjalanan ke Kota Imsil untuk melaksanakan jadwal selanjutnya, Kami memasuki bis dan segera berangkat. Di perjalanan sangat mengesankan, sepanjang jalan rasanya seperti di drama-drama, keluar masuk terowongan yang biasanya sering aku lihat di layar yang tidak bisa aku tembus. Ah dan benar saja sepanjang jalan tidak begitu ramai dan sama sekali tidak ada kemacetan. Karena lumayan lama tidak terasa aku mulai tertidur didalam bis sampai pada akhirnya aku terbangun saat hampir sampai di kota Imsil. Imsil Philbong, pertama kali aku turun dari bis dan melihat sekelilng tempat ini aku merasakan betapa indahnya alam ini. Daerah ini banyak sekali pegunungan yang menjulang dan bahkan rasanya seperti pulang ke kampung halamanku nan jauh di sana Garut tercinta. Namun bedanya, disini sangat bersih dan juga tertata dengan rapi. Namun ada yang berbeda dengan di Jeonju, ternyata disini sangat panas bahkan seperti di Indonesia aku tidak tahu kenapa disini bisa sepanas ini padahal ini terlihat seperti pegunungan dan banyak pohon hijau dibandingakan di Jeonju. Entahlah memang menurut orang-orang Korea cuaca di bulan ini memang tidak menentu mungkin karena pengalihan dari musim semi ke musim panas. Dan ya benar sekali aku juga merasakan betapa ekstimnya cuaca disini yang kadang hari kemarin dingin sekali, hujan, tapi hari selanjutnya panas dan har selanjutnya lagi dingin menggelitik yang membuat keadaan tubuh juga perlu kekuatan untuk beradaptasi. Namun syukurlah aku tidak merasakan sakit ataupun terkena penyakin akibat keekstriman cuaca disini, walaupun sangat rentan sakit tapi usahakan sugesti untuk sehat harus tetap kuat agar bisa menjalankan hari-hari dengan penuh kebahagiaan. 
            Dengan cuaca yang panas, kami disambut oleh paman berbaju hijau untuk memasuki rumah tradisional Korea yang menjadi tempat kami belajar memainkan alat musik Korea. Kami mengikutinya dan memasuki tempat tersebut, beliau memperkenalkan diri dan juga beberapa alat musik tradisional Korea. Setelah itu kami diberi jenis alat musik satu persatu, alat musik tersebut terdiri jadi Janggu (sejenis gendang di Indonesia), Jing (Gong besar terbuat dari kuningan), Kkwaenggwari (Gong kecil dipegang di tangan), dan Buk (Sejenis gendang berbentuk bulat).  Kami dituntut untuk menguasai minimal satu jenis alat musik, dari 14 orang dibagi menjadi dua tim, tujuh orang memainkan Buk dan tujuh orang lagi memainkan Janggu dan aku mencoba memainkan Janggu. Sedangkan Jing dimainkan didepan oleh kang Haris (Choi Taek ‘Replay 1988’ versi Indonesia wkwk). Dan pak Guru memainkan Kkwaenggwari juga sebagai pengarah. Kami mulai diajarkan cara memainkan alat musik tersebut dengan penuh perjuangan. Ternyata memainkan janggu tidak segampang yang dilihat butuh ketelititan dalam memainkan dan butuh kefokusan dalam meyamakan irama dengan panduan. Namun, dengan rasa penasaran dan penuh semangat kami berhasil memainkan musik dan akhirnya kami bisa memainnkan alat musik tersebut. Setelah belajar memainkan alat musik, kami beristirahat untuk melakukan shalat dzuhur dan juga pergi berkeliling-keliling untuk berfoto dan melihat pemandangan. 
Belajar memainkan alat musik Tradisional Korea
               Aku pun menelusuri sekitaran Imsil Philbong dan bertemu dengan penduduk yang tinggal disana. Saat aku hendak berfoto di sebuah rumah yang sangat mengingatkan aku kepada film tahun 2000an ‘The Way Home’ Yoo Seung Ho kecil yang tinggal bersama neneknya di sebuah pedalaman Korea yang sangat tradisional. Nah, rumah ini sangat mirip dengan rumah nenek Seung Ho di film tersebut yang membuat aku sangat tertarik untuk berfoto disini. Saat berfoto tiba-tiba ada seorang bapak-bapak keluar dari rumah tersebut, dia tersenyum sambil terlihat bingung. Aku pun merasa malu karena berfoto tanpa meminta izin dari beliau, namun beliau langsung berbicara kepada ku dalam bahasa Korea menanyakan apa yang kalain lakukan disini, aku saat itu bersama teh Ipah dan teh Resha menjelaskan dengan bahasa yang ekstrim entah dimengerti atau tidak olehnya. Namun dia menawarkan diri untuk berfoto bersama dengan ku sebagai kenangan karena baru pertama kali ia melihat wanita berhijab datang ke kampungnya. Kami pun berfoto menggukanan ponselku yang diambil oleh teh Resha, kemudian paman itu juga ingin berfoto denganku menggunakan ponselnya namun saat ia ambil kedalam rumahnya ia lupa menaruhnya dimana. Aku sangat senang bertemu paman ini, ia bahkan membereskan barang-barang yang berjejeran di teras rumahnya saat tahu aku sedang berfoto didepan rumahnya. 
Foto bersama ajussi penduduk lokal
            Saat aku hendak berfoto di depan rumah lainnya tiba-tiba ada seorang remaja dengan pakaian ala petani Korea disertai topi khasnya yang menutupi kepalanya melihat kami dan melawati kami. Aku memanggilnya dan mengajaknya berbicara bahasa Inggris. Dia berhenti dan menatap bingung kepada kami, aku mengajaknya untuk berfoto bersama tapi ia malah menyangka aku memintanya untuk memfoto kami. Aku jelaskan bahwa aku ingin berfoto dengan orang yang tinggal disini, kemudian ia menghampiri dengan bingung diwajahnya ‘Why me, why me, i’m ugly’ dia terus saja berkata kenapa aku ingin berfoto dengan dia padahal dia jelek. Ah aku ingin tertawa mendengarnya, dia berkata seperti itu tapi dia datang menghmpiriku dan segera berpose heboh dengan gaya andalannya sendiri. Bahkan saat berfoto dengan Teh Resha ia sangat antusias dan berpose sangat lincah saat aku potre. Ini adalah kenangan yang tidak bisa kami lupakan. Setelah berfoto, kami berterimakasih kepadanya dan dia langsung pergi meninggalkan kami. Setelah pria itu pergi, kami bertiga tidak kuat menahan tawa karena tingkah lucu pria itu yang membingungkan. Kami tertawa sampai kami berpikir orang Korea itu tidak begitu faham dengan bahasa Inggris.
saat berfoto dengannya si cowo pemalu  Choi Dae Han wkkw

Teh Resha dan Choi Dae Han
                Karena sudah waktunya memuali jadwal selanjutnya kami segera menuju ke tempat kami belajar tadi. Kegiatan selanjutnya adalah membuat kain dengan mewarnai dengan pewarna alami (Experiencing Natural Dying). Pertama-tama ditengah ruangan disediakan dua buah baskom besar yang bersisi cairan berwarna merah dan kuning. Kemudian seorang guru perempuan menerangkan cara membuat corak dengan warna-warna yang tersedia. Banyak sekali jenis corak yang di ajarkan seperti corak bunga, kotak-kotak, love, dll. Jika dilihat lebih dekat proses ini seperti proses membuat corak batik di Indonesia, namun jika kita membuat batik biasanya dibuatnya dilukin dengan menggunakan canting. Tetapi disini kita tinggal mengkreasikan kain putih dengan gaya yang sudah dipelajari dan dipilih sesuai dengan yang kita inginkan. Tahap selanjutnya adalah sama dengan batik yaitu mencelupkan ke dalam tempat berisi cairan pewarna, namun, jika batik hanya dicelupkan ke cairan pewarna yang mendidih, disini kita harus mencelupkan kain yang sudah kita kreasikan dengan memijat kain tersebut hingga 300 kali pijat untuk hasil yang maksimal. Dan yang paling penting adalah pewarna kain disini adalah murni dari warna tumbuhan yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi warna yang cantik dan indah dan juga aman digunakan di tangan. Cara membersihkannya kita hanya tinggal mencuci dan menggosok bagian kulit yang terkena pewarna tersebut dengan sabun. 
               Selain itu, entah mengapa saat membuat warna kain tersebut hidungku tiba-tiba mengeluarkan darah yang hampir tercampur dengan pewarna yang ada di baskom tersebut haha. Ya aku mimisan selama beberapa kali sampai hidungku harus aku tutup dengan tisu, ahh ribetnya kkkk. Setelah membuat pola gambar masing-masing, kami menjemurnya di luar agar cepat kering. Sambil menunggu kering, kami diajak untuk makan siang bersama di cafetaria di bagian atas. Kami pun segera ke atas dan mulai mengambil makanan. Menu makanan sepesti biasa sangat beragam, mulai dari kimchi, sup tahu toge, ikan, rumput laut dan banyak lagi. Aku bertemu dengan para ajuma yang memasak dengan senyuman ramahnya memuji kecantikan kami yang kkkk. Oh iya saat mengambil sup, aku tersenyum sambil mengatakan ‘kamsahamnida eommoni!’ ajuma itu terkejut dan langsung berbicara dengan bahasa Korea ‘ommo ternyata kau bisa bahasa Korea’ aku menjawab ‘ya sedikit’ ajuma itu merasa senang dan mengatakan aku cantik dengan menggunakan hijab tapi apa tidak kepanasan dalam cuaca begini. Aku hanya tersenyum dan mengatakan aku  baik-baik saja tidak usah khawatir. Ajuma itu tiba-tiba menambahkan nasi  dan sup ke dalam piring ku dan mengatakan ‘mani mokko eung’ yang artinya ‘makanlah yang banyak’ aku merasa malu dan berterimakasih pada ajuma itu. Kemudian aku duduk di meja dan makan bersama yang lainnya, seperti biasa makanannya terasa hambar namun bagaimana lagi untuk kesehatan dan pertahanan hidup, aku harus menikmati segalanya. 
        Sambil makan kami tertawa bersama dengan mendengarkan lelucon konyol kang Haris bersama parternya Aldrea yang seperti langit dan bumi. Tidak ada langit jika tidak ada bumi, tidak ada lelucon kocak Al tanpa kang Haris hahaha aduh. Ditempat ini tidak hanya kami yang makan disini, ada beberapa orang yang juga makan siang disini namun mereka sangat sopan dan tidak ada sepatah katapun apalagi mengobrol bersama, ini sangat berbeda dengan kami yang banyak bicara dan tertawa saat sedang makan. Beginilah budaya kami berbeda dengan mereka, namun perbedaan itu indah kita bisa belajar mana yang baik dan yang tidak dari perbedaan tersebut. Setelah selesai makan, kami kembali ke tempat semula untuk mengecek apakah jemuran kami sudah kering atau belum. Namun sebelum itu, aku bersama teh Resha, Teh Ipah, dan Annisa kembali ke tempat rumah-rumah tradisional tadi untuk mengambil foto. 
Keindahan alam kota Imshil
Teh Resha sedang menikmati WIFI gratis yang jatuh dari atas pohon

        Kami duduk di kursi yang tersedia dibawah pohon dengan semilir angin yang menyegarkan, serta disuguhi pemandangan jalan dan pegunungan yang sangat Indah seperti rasanya i ingin aku lukis momen inidan kusimpan untuk kenangan dim masa depanku. Tidak lupa, betapa canggihnya Korea yang memberikan kami para turis yang sangat bermanfaat, yapp WIFI! Dibawah pohon rindang ini kami menikmati wifi yang keluar dari pohon wkwk. Kenudian, kami berempat mengobrol bersama membicarakan seorang pria yang kami temui disini sebelumnya. Aku tertawa saat menceritakan betapa dia menganggap dirinya jelek dan kenapa ingin berfoto bersama, tiba-tiba teh Resha menyadarkanku dan mengatakan bahwa orang yang sedang kami bicarakan berada di belakangku. 
             Saat aku lihat ke belakang ternyata benar pria itu sedang berjalan ke arah kami yang sedang berkumpul disini. Tiba-tiba pria itu menghampiri kami dan langsung berbicara bahasa Inggris dengan fasih, OMG!. Dia berkata ‘Where do you come from’ sambil duduk dibawah dan menatap kami penuh tanya. Aku terkejut dan bahkan belum bisa berkata-kata, aku segera menjawab kami dari Indonesia. Kami langsung memperkenalkan diri masing-masing. Ya, nama pria itu adalah Choi Daehan yang mengingatkanku pada si sulung Song Triplet, dia pun mengiyakan bahwa namanya seperti song daehan kkkk. Dia berusia 21 tahun (umur Korea) dan kelahiran 1995. Berkenalan lebih jauh ternyata dia adalah mahasiswa Universitas Chonbuk jurusan Seni Musik Tradisional Korea. Ia berada di Imsil karena ada pekerjaan yang harus dilakukan. Dan yang paling mengejutkan lagi gedung Fakultas seni letaknya berada dekat dengan gedung asrama yang kami tinggali selama di Chonbuk. Ia benar-benar banyak bicara, terus saja ia berkata kalau dia itu jelek karena dia sedang bekerja, tapi jika bertemu di kampus dia tidak akan sejelek in,  Oh my God aku tertawa mendengar keluhan pria ini. Kami banyak mengobrol dan saling bertukar kontak Kakao Talk sampai pada akhirnya dia terlebih dulu berpamitan pergi untuk melakukan suatu urusan. 
              Kami akhirnya berpisah dengan senang hati dan akupun kembali ke ruangan belajar musik untuk mengambil kain hasil karya kami yang sudah kering. Setelah semua terlaksanakan kami melakukan perpisahan dengan guru musik dan juga guru mewarnai kain tadi karena kami akan kembali ke Jeonju. Sebenarnya dalam jadwal sebelumya kami dijadwalkan akan menginap disini dan menyaksikan penampilan musik tradisional Korea yang selalu di persembahkan pada malam hari. Namun karena situasi tidak memungkinkan akhirnya kami kembali ke Jeonju dan melewati malam tanpa menyaksikan pertunjukan secara langsung. Hari sudah menunjukan pukul 5 sore akhirnya dengan berat hati kami pergi meninggalkan Imsil Philbong.  Banyak pelajaran yang didapat hari ini terutama dari pertemuan dengan orang-orang Korea disini. Benar sekali kata pepatah ‘Don’t judge the book by the cover’ jangan menilai orang lain dari luarnya saja. 
              Selama ini yang dipikirkan dalam otakku bahwa orang Korea itu tidak terlalu bagus dalam bahasa Inggris maka persepsi itu melekat kepada imej orang-orang Korea. Tapi sebenarnya tidak, banyak sekarang ini anak-anak muda Korea yang sedang ditingkatkan bahasa Inggrisnya untuk kemajaun negaranya. Apalagi seorang mahasiswa, walaupun mereka terlihat seperti tidak menguasai bahasa Inggris sebenarnya mereka mampu dan mereka bisa, namun mereka hanya malu untuk berbicara. Sama halnya seperti kita dalam belajar bahasa, sebenarnya kita juga bisa tetapi kita kadang malu untuk mencoba berbicara bahasa asing, ya, karena takut salah, takut diejek, takut disebut sok lah dan sebagainya. Tapi kita harus berubah, kita harus percaya diri terutama dalam bahasa Inggris. Karena dari perjalanan ini aku menyadari bahwa ‘English is more Important’ walaupun kita pergi ke negara yang bukan berbahasa Inggris, yang aku rasakan bahasa Inggris memang sangat penting kecuali jika memang kita sudah menguasai bahasa dari negara yang kita tuju dengan fasih. Setelah melakukan perjalanan pulang dari Imsil ke Jeonju, kami sampai di asrama dan mendapatkan makan malam di asrama hingga akhirnya aku mulai tertidur pukul 12.0. *TO BE CONTINUE........

No comments:

Post a Comment