DAY 8
Sabtu, 14 Mei 2016
Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana situasi di
kampus tidak begitu ramai seperti biasa. Sama seperti di Indonesia, Sabtu
Minggu adalah weekend bagi para pekerja yang telah bekerja keras dalam
seminggu. Hari ini jadwal kami adalah berangkat ke kota Imsil untuk belajar
musik tradisional Korea dan juga belajar membuat warna kain dengan bahan alami.
Aku bangun di pagi hari untuk membersihkan diri dan membereskan kamar yang
sangat berantakan. Pada hari Sabtu dan Minggu, Cafetaria tempat kami sarapan
pun libur sehingga kami mendapatkan kiriman sarapan untuk pagi ini. Menu
sarapan pagi ini adalah sandwich dan pepsi. Aku segera menyantap sarapan yang
rasanya sangat enak dengan banyak daging dan sayuran didalamnya yang sangat
mengenyangkan untuk porsi sarapan di pagi ini. Karena aku tidak terbiasa
meminum minuman bersoda di pagi hari, aku hanya minum air putih setelah sarapan
dan minum vitamin agar kondisi badan tetap bugar. Setelah bersiap, aku dan
teman-teman berangkat ke parkiran pada pukul 9.00 untuk memulai perjalanan ke
kota Imsil yang menurut Eun Je jaraknya sekitar satu jam lebih dari Jeonju.
Namun
sebelum memulai perjalanan yang lumayan lama kami diajak ke sebuah restoran
terlebih dahulu. Yap, kami diajak ke restauran Tteokbokki makanan yang sangat terkenal di Korea yang
terbuat dari beras dan rasanya yang kenyal dan pedas. Kami berjalan terlebih
dahulu untuk menuju ke restaurant tersebut, akhirnya kami sampai dan aku segera
duduk bersama dengan teman-teman yang lain. Tteokbokki dengan porsi besar sudah
tersedia di meja dengan menu lainnya seperti Danmuji (acar lobak berwarna
kuning), kimchi dan banyak lagi. Setelah semua berkumpul, Eunje memberikan
sedikit pidato kepada kami tentang makanan yang akan kami santap ini. Setelah
itu, para pelayan menyalakan kompor dan memberikan panduan kepada kami dan
tinggal menunggu beberapa menit untuk mulai menyantapnya. Oh iya pemandu kami
di hari ini adalah Eunje dan Kim Eun, Kim Eun baru pertama kali bertemu dengan
kami hari ini menggantikan Song Yi yang ada ujian di kampus. Kim Eun seumuran
denganku, ia lahir tahun 1996 dan sejak kecil tinggal di Amerika dengan ayahnya
yang bekerja di sana. Tidak salah lagi karena bahasa Inggrisnya benar-benar
sangat lancar.
Kemudian sambil kami menunggu Tteokbokki matang,tidak lupa untuk
berfoto terlebih dahulu. Sebelumnya aku akan menjelaskan Tteokbokki yang aku
santap ini, ini sangat berbeda dengan Tteokbokki lain yang pernah aku cicipi,
topingnnya sangat banyak diantaranya terdapat potongan odeng dengan rasa ikan
yang khas, beberapa butir telur yang menggoda, dan ada satu jenis berbentuk
bulat rasanya seperti ekado namun aku lupa nama makanan tersebut, dan juga yang
spesial adalah ditaburi dengan Mozzarella yang melekat pada setiap celah di
wajan besar tersebut. Tidak lupa juga terdapat beberapa nori atau rumput laut
yang menjadi makanan wajib di Korea. Aku sudah tidak sabar ingin menyantapnya,
segera ku ambil kedua sumpit yang sedari tadi menunggu. Aku langsung menyantap
makanan tersebut, dan whoaah rasanya benar-benar mantap! Aku sampai berhenti
berbicara dan langsung terdiam merasakan betapa lezatnya Tteokbokki Mozzarella
ini. Aku terus menyantap setiap makanan yang berada dimeja, aku mencoba memakan
danmuji yang sering aku lihat di drama Korea yang biasanya dimakan dengan
jajangmyeon. Yapp rasanya sangat segar, di Indonesia ini seperti acar, aku
terus menyantapnya hingga tidak tersisa di mangkuk putih itu.
Tteokbokki Mozzarella |
Tteokbokki Mozzarella with many topping |
Setelah selesai menyantap Tteokbokki, kami segera
melanjutkan perjalanan ke Kota Imsil untuk melaksanakan jadwal selanjutnya, Kami
memasuki bis dan segera berangkat. Di perjalanan sangat mengesankan, sepanjang
jalan rasanya seperti di drama-drama, keluar masuk terowongan yang biasanya
sering aku lihat di layar yang tidak bisa aku tembus. Ah dan benar saja
sepanjang jalan tidak begitu ramai dan sama sekali tidak ada kemacetan. Karena
lumayan lama tidak terasa aku mulai tertidur didalam bis sampai pada akhirnya
aku terbangun saat hampir sampai di kota Imsil. Imsil Philbong, pertama kali
aku turun dari bis dan melihat sekelilng tempat ini aku merasakan betapa
indahnya alam ini. Daerah ini banyak sekali pegunungan yang menjulang dan
bahkan rasanya seperti pulang ke kampung halamanku nan jauh di sana Garut
tercinta. Namun bedanya, disini sangat bersih dan juga tertata dengan rapi.
Namun ada yang berbeda dengan di Jeonju, ternyata disini sangat panas bahkan
seperti di Indonesia aku tidak tahu kenapa disini bisa sepanas ini padahal ini
terlihat seperti pegunungan dan banyak pohon hijau dibandingakan di Jeonju.
Entahlah memang menurut orang-orang Korea cuaca di bulan ini memang tidak
menentu mungkin karena pengalihan dari musim semi ke musim panas. Dan ya benar
sekali aku juga merasakan betapa ekstimnya cuaca disini yang kadang hari
kemarin dingin sekali, hujan, tapi hari selanjutnya panas dan har selanjutnya
lagi dingin menggelitik yang membuat keadaan tubuh juga perlu kekuatan untuk
beradaptasi. Namun syukurlah aku tidak merasakan sakit ataupun terkena penyakin
akibat keekstriman cuaca disini, walaupun sangat rentan sakit tapi usahakan
sugesti untuk sehat harus tetap kuat agar bisa menjalankan hari-hari dengan
penuh kebahagiaan.
Dengan cuaca yang panas, kami disambut oleh paman berbaju
hijau untuk memasuki rumah tradisional Korea yang menjadi tempat kami belajar
memainkan alat musik Korea. Kami mengikutinya dan memasuki tempat tersebut,
beliau memperkenalkan diri dan juga beberapa alat musik tradisional Korea.
Setelah itu kami diberi jenis alat musik satu persatu, alat musik tersebut
terdiri jadi Janggu (sejenis gendang di Indonesia), Jing (Gong besar terbuat
dari kuningan), Kkwaenggwari (Gong kecil dipegang di tangan), dan Buk (Sejenis
gendang berbentuk bulat). Kami dituntut
untuk menguasai minimal satu jenis alat musik, dari 14 orang dibagi menjadi dua
tim, tujuh orang memainkan Buk dan tujuh orang lagi memainkan Janggu dan aku
mencoba memainkan Janggu. Sedangkan Jing dimainkan didepan oleh kang Haris
(Choi Taek ‘Replay 1988’ versi Indonesia wkwk). Dan pak Guru memainkan
Kkwaenggwari juga sebagai pengarah. Kami mulai diajarkan cara memainkan alat
musik tersebut dengan penuh perjuangan. Ternyata memainkan janggu tidak
segampang yang dilihat butuh ketelititan dalam memainkan dan butuh kefokusan
dalam meyamakan irama dengan panduan. Namun, dengan rasa penasaran dan penuh
semangat kami berhasil memainkan musik dan akhirnya kami bisa memainnkan alat
musik tersebut. Setelah belajar memainkan alat musik, kami beristirahat untuk
melakukan shalat dzuhur dan juga pergi berkeliling-keliling untuk berfoto dan
melihat pemandangan.
Belajar memainkan alat musik Tradisional Korea |
Aku pun menelusuri sekitaran Imsil Philbong dan bertemu
dengan penduduk yang tinggal disana. Saat aku hendak berfoto di sebuah rumah
yang sangat mengingatkan aku kepada film tahun 2000an ‘The Way Home’ Yoo Seung
Ho kecil yang tinggal bersama neneknya di sebuah pedalaman Korea yang sangat
tradisional. Nah, rumah ini sangat mirip dengan rumah nenek Seung Ho di film
tersebut yang membuat aku sangat tertarik untuk berfoto disini. Saat berfoto
tiba-tiba ada seorang bapak-bapak keluar dari rumah tersebut, dia tersenyum
sambil terlihat bingung. Aku pun merasa malu karena berfoto tanpa meminta izin
dari beliau, namun beliau langsung berbicara kepada ku dalam bahasa Korea
menanyakan apa yang kalain lakukan disini, aku saat itu bersama teh Ipah dan
teh Resha menjelaskan dengan bahasa yang ekstrim entah dimengerti atau tidak
olehnya. Namun dia menawarkan diri untuk berfoto bersama dengan ku sebagai
kenangan karena baru pertama kali ia melihat wanita berhijab datang ke
kampungnya. Kami pun berfoto menggukanan ponselku yang diambil oleh teh Resha, kemudian
paman itu juga ingin berfoto denganku menggunakan ponselnya namun saat ia ambil
kedalam rumahnya ia lupa menaruhnya dimana. Aku sangat senang bertemu paman
ini, ia bahkan membereskan barang-barang yang berjejeran di teras rumahnya saat
tahu aku sedang berfoto didepan rumahnya.
Foto bersama ajussi penduduk lokal |
Saat aku hendak berfoto di depan
rumah lainnya tiba-tiba ada seorang remaja dengan pakaian ala petani Korea
disertai topi khasnya yang menutupi kepalanya melihat kami dan melawati kami.
Aku memanggilnya dan mengajaknya berbicara bahasa Inggris. Dia berhenti dan
menatap bingung kepada kami, aku mengajaknya untuk berfoto bersama tapi ia
malah menyangka aku memintanya untuk memfoto kami. Aku jelaskan bahwa aku ingin
berfoto dengan orang yang tinggal disini, kemudian ia menghampiri dengan
bingung diwajahnya ‘Why me, why me, i’m ugly’ dia terus saja berkata kenapa aku
ingin berfoto dengan dia padahal dia jelek. Ah aku ingin tertawa mendengarnya,
dia berkata seperti itu tapi dia datang menghmpiriku dan segera berpose heboh
dengan gaya andalannya sendiri. Bahkan saat berfoto dengan Teh Resha ia sangat
antusias dan berpose sangat lincah saat aku potre. Ini adalah kenangan yang
tidak bisa kami lupakan. Setelah berfoto, kami berterimakasih kepadanya dan dia
langsung pergi meninggalkan kami. Setelah pria itu pergi, kami bertiga tidak
kuat menahan tawa karena tingkah lucu pria itu yang membingungkan. Kami tertawa
sampai kami berpikir orang Korea itu tidak begitu faham dengan bahasa Inggris.
saat berfoto dengannya si cowo pemalu Choi Dae Han wkkw |
Teh Resha dan Choi Dae Han |
Karena
sudah waktunya memuali jadwal selanjutnya kami segera menuju ke tempat kami
belajar tadi. Kegiatan selanjutnya adalah membuat kain dengan mewarnai dengan
pewarna alami (Experiencing Natural Dying). Pertama-tama ditengah ruangan
disediakan dua buah baskom besar yang bersisi cairan berwarna merah dan kuning.
Kemudian seorang guru perempuan menerangkan cara membuat corak dengan
warna-warna yang tersedia. Banyak sekali jenis corak yang di ajarkan seperti
corak bunga, kotak-kotak, love, dll. Jika dilihat lebih dekat proses ini
seperti proses membuat corak batik di Indonesia, namun jika kita membuat batik
biasanya dibuatnya dilukin dengan menggunakan canting. Tetapi disini kita
tinggal mengkreasikan kain putih dengan gaya yang sudah dipelajari dan dipilih
sesuai dengan yang kita inginkan. Tahap selanjutnya adalah sama dengan batik
yaitu mencelupkan ke dalam tempat berisi cairan pewarna, namun, jika batik
hanya dicelupkan ke cairan pewarna yang mendidih, disini kita harus mencelupkan
kain yang sudah kita kreasikan dengan memijat kain tersebut hingga 300 kali pijat
untuk hasil yang maksimal. Dan yang paling penting adalah pewarna kain disini
adalah murni dari warna tumbuhan yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga
menjadi warna yang cantik dan indah dan juga aman digunakan di tangan. Cara
membersihkannya kita hanya tinggal mencuci dan menggosok bagian kulit yang
terkena pewarna tersebut dengan sabun.
Selain itu, entah mengapa saat membuat
warna kain tersebut hidungku tiba-tiba mengeluarkan darah yang hampir tercampur
dengan pewarna yang ada di baskom tersebut haha. Ya aku mimisan selama beberapa
kali sampai hidungku harus aku tutup dengan tisu, ahh ribetnya kkkk. Setelah
membuat pola gambar masing-masing, kami menjemurnya di luar agar cepat kering.
Sambil menunggu kering, kami diajak untuk makan siang bersama di cafetaria di
bagian atas. Kami pun segera ke atas dan mulai mengambil makanan. Menu makanan
sepesti biasa sangat beragam, mulai dari kimchi, sup tahu toge, ikan, rumput
laut dan banyak lagi. Aku bertemu dengan para ajuma yang memasak dengan
senyuman ramahnya memuji kecantikan kami yang kkkk. Oh iya saat mengambil sup,
aku tersenyum sambil mengatakan ‘kamsahamnida eommoni!’ ajuma itu terkejut dan
langsung berbicara dengan bahasa Korea ‘ommo ternyata kau bisa bahasa Korea’
aku menjawab ‘ya sedikit’ ajuma itu merasa senang dan mengatakan aku cantik
dengan menggunakan hijab tapi apa tidak kepanasan dalam cuaca begini. Aku hanya
tersenyum dan mengatakan aku baik-baik
saja tidak usah khawatir. Ajuma itu tiba-tiba menambahkan nasi dan sup ke dalam piring ku dan mengatakan
‘mani mokko eung’ yang artinya ‘makanlah yang banyak’ aku merasa malu dan
berterimakasih pada ajuma itu. Kemudian aku duduk di meja dan makan bersama
yang lainnya, seperti biasa makanannya terasa hambar namun bagaimana lagi untuk
kesehatan dan pertahanan hidup, aku harus menikmati segalanya.
Sambil makan
kami tertawa bersama dengan mendengarkan lelucon konyol kang Haris bersama
parternya Aldrea yang seperti langit dan bumi. Tidak ada langit jika tidak ada
bumi, tidak ada lelucon kocak Al tanpa kang Haris hahaha aduh. Ditempat ini
tidak hanya kami yang makan disini, ada beberapa orang yang juga makan siang
disini namun mereka sangat sopan dan tidak ada sepatah katapun apalagi
mengobrol bersama, ini sangat berbeda dengan kami yang banyak bicara dan tertawa
saat sedang makan. Beginilah budaya kami berbeda dengan mereka, namun perbedaan
itu indah kita bisa belajar mana yang baik dan yang tidak dari perbedaan
tersebut. Setelah selesai makan, kami kembali ke tempat semula untuk mengecek
apakah jemuran kami sudah kering atau belum. Namun sebelum itu, aku bersama teh
Resha, Teh Ipah, dan Annisa kembali ke tempat rumah-rumah tradisional tadi
untuk mengambil foto.
Keindahan alam kota Imshil |
Teh Resha sedang menikmati WIFI gratis yang jatuh dari atas pohon |
Kami duduk di kursi yang tersedia dibawah pohon dengan
semilir angin yang menyegarkan, serta disuguhi pemandangan jalan dan pegunungan
yang sangat Indah seperti rasanya i ingin aku lukis momen inidan kusimpan untuk
kenangan dim masa depanku. Tidak lupa, betapa canggihnya Korea yang memberikan
kami para turis yang sangat bermanfaat, yapp WIFI! Dibawah pohon rindang ini
kami menikmati wifi yang keluar dari pohon wkwk. Kenudian, kami berempat
mengobrol bersama membicarakan seorang pria yang kami temui disini sebelumnya.
Aku tertawa saat menceritakan betapa dia menganggap dirinya jelek dan kenapa
ingin berfoto bersama, tiba-tiba teh Resha menyadarkanku dan mengatakan bahwa
orang yang sedang kami bicarakan berada di belakangku.
Saat aku lihat ke
belakang ternyata benar pria itu sedang berjalan ke arah kami yang sedang
berkumpul disini. Tiba-tiba pria itu menghampiri kami dan langsung berbicara
bahasa Inggris dengan fasih, OMG!. Dia berkata ‘Where do you come from’ sambil
duduk dibawah dan menatap kami penuh tanya. Aku terkejut dan bahkan belum bisa
berkata-kata, aku segera menjawab kami dari Indonesia. Kami langsung
memperkenalkan diri masing-masing. Ya, nama pria itu adalah Choi Daehan yang
mengingatkanku pada si sulung Song Triplet, dia pun mengiyakan bahwa namanya
seperti song daehan kkkk. Dia berusia 21 tahun (umur Korea) dan kelahiran 1995.
Berkenalan lebih jauh ternyata dia adalah mahasiswa Universitas Chonbuk jurusan
Seni Musik Tradisional Korea. Ia berada di Imsil karena ada pekerjaan yang
harus dilakukan. Dan yang paling mengejutkan lagi gedung Fakultas seni letaknya
berada dekat dengan gedung asrama yang kami tinggali selama di Chonbuk. Ia
benar-benar banyak bicara, terus saja ia berkata kalau dia itu jelek karena dia
sedang bekerja, tapi jika bertemu di kampus dia tidak akan sejelek in, Oh my God aku tertawa mendengar keluhan pria
ini. Kami banyak mengobrol dan saling bertukar kontak Kakao Talk sampai pada
akhirnya dia terlebih dulu berpamitan pergi untuk melakukan suatu urusan.
Kami
akhirnya berpisah dengan senang hati dan akupun kembali ke ruangan belajar
musik untuk mengambil kain hasil karya kami yang sudah kering. Setelah semua
terlaksanakan kami melakukan perpisahan dengan guru musik dan juga guru
mewarnai kain tadi karena kami akan kembali ke Jeonju. Sebenarnya dalam jadwal
sebelumya kami dijadwalkan akan menginap disini dan menyaksikan penampilan
musik tradisional Korea yang selalu di persembahkan pada malam hari. Namun
karena situasi tidak memungkinkan akhirnya kami kembali ke Jeonju dan melewati
malam tanpa menyaksikan pertunjukan secara langsung. Hari sudah menunjukan
pukul 5 sore akhirnya dengan berat hati kami pergi meninggalkan Imsil
Philbong. Banyak pelajaran yang didapat
hari ini terutama dari pertemuan dengan orang-orang Korea disini. Benar sekali
kata pepatah ‘Don’t judge the book by the cover’ jangan menilai orang lain dari
luarnya saja.
Selama ini yang dipikirkan dalam otakku bahwa orang Korea itu
tidak terlalu bagus dalam bahasa Inggris maka persepsi itu melekat kepada imej
orang-orang Korea. Tapi sebenarnya tidak, banyak sekarang ini anak-anak muda
Korea yang sedang ditingkatkan bahasa Inggrisnya untuk kemajaun negaranya. Apalagi
seorang mahasiswa, walaupun mereka terlihat seperti tidak menguasai bahasa
Inggris sebenarnya mereka mampu dan mereka bisa, namun mereka hanya malu untuk
berbicara. Sama halnya seperti kita dalam belajar bahasa, sebenarnya kita juga
bisa tetapi kita kadang malu untuk mencoba berbicara bahasa asing, ya, karena
takut salah, takut diejek, takut disebut sok lah dan sebagainya. Tapi kita
harus berubah, kita harus percaya diri terutama dalam bahasa Inggris. Karena
dari perjalanan ini aku menyadari bahwa ‘English is more Important’ walaupun
kita pergi ke negara yang bukan berbahasa Inggris, yang aku rasakan bahasa
Inggris memang sangat penting kecuali jika memang kita sudah menguasai bahasa
dari negara yang kita tuju dengan fasih. Setelah melakukan perjalanan pulang
dari Imsil ke Jeonju, kami sampai di asrama dan mendapatkan makan malam di
asrama hingga akhirnya aku mulai tertidur pukul 12.0. *TO BE CONTINUE........
No comments:
Post a Comment